ahlan wa sahlan...

Bismillahirrohmanirrohiim...

dengan menyebut asma Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, kami menerbitkan blog IMM Komisariat FK UMS...
semoga semua yang ada di dalam blog ini akan memberikan wacana dan manfaat bagi para pembaca sekalian..
dengan tekad bulat..
karena kebatilan tidak akan sirna tanpa kita menegakkan yang haq..
bersama Allah di jalan kebenaran
mari berlomba-lomba dalam kebaikan..

Allahu Akbarr..!!

Minggu, 28 November 2010

Quo Vadis Mahasiswa Prophetic


                                      Quo Vadis Mahasiswa Prophetic
“Ilmu pengetahuan social borjuis tidak mampu memenuhi tugas ilmu pengetahuan kemasyarakatan yang sejati, yakni memberikan teori tentang masyarakat yang integral, yang bisa mengungkapkan hukum-hukum umum yang mengatur asal-usul, organisasi dan perkembangan masyarakat” (Doug Lorimer)
Tepat 12 tahun yang lalu tragedi Semanggi, saya dedikasikan artikel ini kepada segenap mahasiswa dan rakyat Indonesia yang telah menyumbangkan segalanya bahkan jiwa raga mereka untuk berjuang membela kebenaran, keadilan, dan demokrasi. Semoga Tuhan memberkati mereka dan juga Angkatan Bersenjata Republik Indonesia yang dengan gagah berani berupaya memerangi segala kekuatan yang anarkis bertempur mati-matian melawan mahasiswa yang bersenjatakan poster dan megaphone. Semoga Tuhan mengampuni mereka. Amin
Peranan kaum intelektual, termasuk mahasiswa, dalam perubahan sosial adalah kompleks dan penting, tetapi tidak selalu menentukan. Sepanjang sejarah, sebagian besar kaum intelektual berdampingan dengan gerakan demokrasi dan nasionalis melawan kolonialisme, kediktatoran atau rezim fasis. Dukungan mereka terhadap gerakan revolusi sosial tidak kekal, bertentangan dan terbatas. Dalam sejarah Indonesia, kita juga menyaksikan peran penting yang dilakukan oleh mahasiswa. Namun, peran tersebut ternyata tidak seiring dengan menegakkan demokrasi dan kesejahteraan rakyat. Seperti tahun 1965 ketika mahasiswa bergandengan dengan tentara menggulingkan Soekarno. Gerakan mahasiswa saat itu membantu berdirinya sebuah rezim fasis yang berkuasa selama 32 tahun dan berlaku represif terhadap rakyatnya. Dan secara tidak langsung, turut memperlancar pembantaian terhadap kurang lebih 3 juta orang pada masa 1965-1969. Berdirinya rezim Soeharto atau rezim fasis ( sesuai dengan sebutan yang diberikan oleh Solidaritas Mahasiswa Indonesia ) merupakan hasil aliansi dari mahasiswa-mahasiwa pro- liberalisme Barat, tentara fasis didikan Jepang dan juga kaum imperialis utamanya Amerika. Kejatuhan Soekarno berarti jatuhnya Indonesia ke tangan imperialis. Richard Nixon – mantan presiden AS saat itu dengan gembira mengatakan:
“Dengan 100 juta penduduknya dan 300 mil busur pulau-pulau yang berisi persediaan sumber daya alam terkaya di daerah tersebut, Indonesia adalah hadiah terbesar di Asia Tenggara.”
Jatuhnya Indonesia ke tangan imperialis membuat sumber daya alamnya yang melimpah menjadi harta rampasan perang yang dibagi-bagikan kepada negara-negara imperialis. Tragisnya, pembagian harta tersebut bukan tanpa restu pemerintah, namun sebaliknya. Hal ini dapat dilihat pada tahun 1967 di Geneva ketika Sri sultan Hamengkubuwono, Adam Malik dan tim ekonomi yang kelak disebut “Mafia Berkeley” sebagai utusan dari rezim fasis Soeharto bertemu dengan para kapitalis Internasional seperti David Rockefeller, perusahaan bank dan minyak utama, General Motors, Imperial Chemical Industries, british Leyland, British-American Tobacco, American Express, Siemens, Goodyear, The International Paper Corporation dan US Steel. Dalam pertemuan yang disebut sebagai konferensi untuk membantu Pembangunan Ulang Bangsa (To Aid In the Rebuilding of Nation), sumber daya alam Indonesia dibagi-bagikan kepada para kapitalis Internasional. Freeport Amerika memperoleh gunung tembaga di Papua Barat. Sebuah konsorsium Amerika dan Eropa mendapat tambang nikel di Papua Barat. Perusahaan Alcoa memiliki bagian terbesar dari dari bauksit Indonesia. Sekelompok perusahaan Amerika, Jepang dan Perancis menguasai hutan tropis Sumatra, Papua Barat dan Kalimantan. Kemudian dibuatlah Undang-undang Penanaman Modal Asing (UU PMA) yeng memberikan kebebasan pajak bagi para penanam modal.
Pada tahun 1978, gerakan mahasiswa kembali bergerak. Dengan tuntutan yang lebih maju :
Menolak pencalonan kembali Soeharto sebagai presiden. Pun demikain, mereka belum berbicara mengenai system yang dibangun oleh Soeharto. Setelah kejadian itu, Soeharto mengambil langkah untuk mensterilkan kampus dari semua kegiatan politik, mahasiswa di”goblog”kan melalui kebijakan NKK/BKK: “Mahasiswa belajar saja (artinya datang ke kampus, mendengarkan khutbah dan doktrin dosen, mencatat, pulang, tidur, bersenang-senang,…) dan upaya pembodohan ini berlangsung sampai sekarang. Dewan mahasiswa dibubarkan, tidak boleh ada politik praktis di dalam kampus, militer semakin kuat mencengkram kampus, pembredelan pers mahasiswa, pencekalan tokoh-tokoh yang kritis, dan pelarangan buku-buku.
Diisolasinya mahasiswa dari dunia politik tidak membuat gerakan mahasiswa terlelap dan melupakan perannya sebagai pemicu perubahan. Mahasiswa kemudian menemukan taktik baru, yaitu mendirikan kelompok diskusi dan mengorganisasi rakyat untuk mengaplikasikan teori-teori yang dibincangkannya. Lalu, lahirlah perlawanan rakyat dan mahasiswa seperti yang terjadi di Kedung Ombo, Blangguan dll. Rezim Soeharto tentu saja tidak tinggal diam. Penangkapan dan pemenjaraan aktivis, serta pencekalan dan pembredelan majalah kampus terjadi dalam masa-masa  ini.
Sejarah gerakan mahasiswa adalah sejarah pembebasan rakyat, sejarah bagi terciptanya keadilan sosial. Di Indonesia, gerakan mahasiswa lahir atas kondisi historis untuk menjawab kondisi bangsa. Saya teringat tulisan Finley Fater Dunoe “Kita bisa mengantar orang memasuki universitas, tapi belum tentu bisa membuatnya berpikir”. Ingat, Kemunduran Kampus, Kemunduran Kemanusiaan. (Teguh St)